Diskriminasi Dan Etnosentris
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap
individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik
yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu
kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan
karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga
merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis
kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat
netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.Diskriminasi
ditempat kerja.
Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk:
- dari struktur upah.
- cara penerimaan karyawan,
- strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
- kondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi
aspirasi profesional dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang
dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa
perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas pekerja secara
individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada
karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin,
sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari
kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
ETNOSENTRIS
Etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap
asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya asing dengan
budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary ).
Ada satu suku Eskimo yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti
“penduduk sejati” [Herbert, 1973, hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan
ini sebagai etnosentrisme, yang secara formal didefinisikan sebagai
“pandangan bahwa kelompoknya sendiri” adalah pusat segalanya dan semua
kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok
tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal etnosentrisme adalah
kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya
sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan
identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan
Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama
perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan
memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita
sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian.
Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita;
makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang
paling baik, sebagai yang paling bermoral".
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Berita tentang Diskriminasi :
Lima Kasus Diskriminasi Terburuk Pascareformasi :
JAKARTA, KOMPAS.com — Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji
dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi,
setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di
Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari jumlah itu paling banyak
kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen.
Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen),
kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5
persen).
"Semenjak reformasi, diskriminasi yang terjadi lebih bersifat
priomordial, komunal, bukan seperti diskriminasi ideologi yang terjadi
pada masa Orde Baru," ujar Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar,
Minggu (23/12/2012), dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), di Jakarta.
Dari banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi, Yayasan Denny JA mendata
setidaknya ada lima kasus diskriminasi terburuk pasca 14 tahun
reformasi. Kelima kasus itu dinilai terburuk berdasarkan jumlah korban,
lama konflik, luas konflik, kerugian materi, dan frekuensi berita.
Setiap variabel diberikan nilai 1-5 kemudian dikalikan dengan bobot
masing-masing variabel. Pembobotan skor 50 diberikan pada variabel
jumlah korban, skor 40 untuk lamanya konflik, skor 30 untuk luas
konflik, skor 20 untuk kerugian materi, dan skor 10 untuk frekuensi
berita. Hasilnya, konflik Ambon berada di posisi teratas, yakni dengan
nilai 750, kemudian diikuti konflik Sampit (520), kerusuhan Mei 1998
(490), pengungsian Ahmadiyah di Mataram (470), dan konflik Lampung
Selatan (330).
"Lima konflik terburuk ini setidaknya telah menghilangkan nyawa 10.000 warga negara Indonesia," ucap Novriantoni.
Konflik Maluku menjadi konflik kekerasan dengan latar agama yang telah
menelan korban terbanyak, yakni 8.000-9.000 orang meninggal dunia, dan
telah menyebabkan kerugian materi 29.000 rumah terbakar, 45 masjid, 47
gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang
konflik yang terjadi juga yang paling lama, yakni sampai 4 tahun.
Sementara konflik Sampit yang berlatar belakang etnis, yakni antara
Dayak dan Madura, telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia dan
108.000 orang mengungsi. Rentang konfliknya pun mencapai 10 hari.
Konflik kerusuhan di Jakarta yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 juga tidak
kalah hebatnya. Konflik ini menelan korban 1.217 orang meninggal dunia,
85 orang diperkosa, dan 70.000 pengungsi. Meski hanya berlangsung tiga
hari, kerugian materi yang ditimbulkan mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.
Konflik Ahmadiyah di Transito Mataram telah menyebabkan 9 orang
meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9
orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45
orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Meski
tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konflik ini mendapat sorotan
media cukup kuat dan rentang peristiwa pascakonflik selama 8 tahun yang
tak jelas bagi nasib para pengungsi.
Konflik kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan
korban 14 orang meninggal dunia dan 1.700 pengungsi. "Secara
keseluruhan, negara terlihat mengabaikan konflik-konflik yang sudah
terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kasus bahkan tidak ada
pelaku atau otak pelaku kekerasan yang diusut," katanya.
Tanggapan :
Menurut saya diskriminasi merupakan hal yang sangat tidak terpuji
karena diskriminasi akan menimbulkan korban. Diskriminasi dapat terjadi
dalam beberapa sektor yaitu suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan
kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain.
Kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya hidup dengan rukun satu sama
lain sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman.
Pada kasus Diskriminasi yang terjadi pasca reformasi seperti
diatas, dapat kita lihat bahwa banyaknya terjadi kasus diskriminasi yang
terjadi di Indonesia. kasus ini antara lain konflik Maluku menjadi
konflik kekerasan dengan latar agama, konflik Sampit yang berlatar
belakang etnis, konflik Ahmadiyah di Transito Mataram, dan konflik
kekerasan yang terjadi di Lampung Selatan. Kerugian yang timbul akibat
konflik tersebut bukan hanya kerugian secara material, namun juga
merenggut ratusan bahkan ribuan korban jiwa dalam kurun waktu yang tidak
lama.
Seharusnya, kasus-kasus diskriminasi seperti ini dapat disudahi di
Indonesia. Kita sebagai masyarakat Indonesia yang baik seharusnya
menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Agama. Perbedaan tentu
banyak terjadi di Indonesia, tapi bukan berarti mereka yang berbeda
dengan kita harus mendapatkan perlakuan diskriminasi yang tidak layak.
Semoga kedepannya bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik, tanpa
adanya diskriminasi dan etnosentris yang terjadi. Sekian dan
terimakasih.
Sumber: http://azmyvengeance.blogspot.co.id/2015/11/diskriminasi-dan-etnosentris.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar